Postingan ini dipost pertama kali di blog saya yang lama pada tanggal 5 Februari 2015.
Tulisan ini sebuah tribut dari saya untuk Carlos Tevez di hari ulang tahunnya yang ke-31
Sebagian besar dari anda ketika mendengar kata Apache mungkin akan menghubungkannya dengan suku Indian, apalagi jika anda pernah membaca novel legendaris Winnetou I: Kepala Suku Apache karangan Karl May. Beda Apache, tapi tidak kalah heroik kisahnya juga ada di Argentina, tepatnya di sebuah distrik daerah pinggiran Buenos Aires.
Kawasan pinggiran kota metropolitan memang identik dengan wilayah slum, biasanya kawasan pemukiman bagi penduduk kelas pekerja yang berpenghasilan di bawah kelas menengah. Kejahatan sampai kebaikan juga biasa menghiasi wilayah ini, tindak kriminal sampai kumpul-kumpul penuh kehangatan adalah salah satu ciri khas penduduk wilayah ini. Namun siapa sangka jika sesekali kawasan-kawasan seperti ini kerap menghasilkan seseorang bermental juara kelas dunia seperti Zlatan Ibrahimovic dari Rosengard, dan Carlos Tevez dari Ederjito de los Andes atau lebih dikenal dengan Fuerte Apache.

Saya termasuk salah satu penggemar Carlos Tevez, jauh sebelum ia bergabung dengan Juventus. Awal mula saya mulai ngeh dengan kiprah Carlos Tevez adalah saat ia sukses mengantarkan Argentina merebut medali emas di ajang Olimpiade 2004, yang mana saat itu ia juga menjadi top skorer dengan delapan gol yang ia cetak. Sejak itulah namanya kerap menghiasi media lokal, yang mana saat itu informasi terkait sepakbola sebagian besar saya dapatkan dari tabloid sepakbola.
Sejak awal menggemari sepakbola, saya memang sangat menyukai pemain dengan tipikal pekerja keras, Edgar Davids dan Pavel Nedved adalah salah dua pemain yang paling saya gemari dari klub favorit saya Juventus. Ketika mulai sering melihat aksi Tevez di layar kaca bermain bersama Manchester United dan Argentina, praktis saya langsung menggemari aksi pemain yang menolak tawaran operasi plastik untuk bekas luka bakar di lehernya.
Berbagai aksi brilian Tevez dalam melakukan dribel, mencetak gol, dan cara bermainnya yang seperti tidak kenal lelah terbayar dengan berbagai prestasi yang ia torehkan di berbagai klub besar yang pernah ia singgahi. Sebelum merantau ke Eropa, Tevez sudah memenangkan Copa Libertadores dan Piala Intercontinental bersama Boca Juniors, belum lagi gelar liga Brazil yang ia menangkan bersama Corinthians. Hijrah ke Inggris, El Apache suskes memenangkan hati suporter West Ham United saat gol tunggalnya ke gawang Manchester United di pertandingan terakhir liga memberi tiga poin bagi West Ham dan mengamankan klub asal London tersebut bertahan di Premier League.
Berbagai trofi mayor kembali dimenangkan oleh Tevez saat bermain bagi Manchester United, dua gelar juara Premier League, satu trofi Liga Champions, dan satu trofi Piala Dunia antar klub. Pindah ke klub tetangga Manchester City, Tevez masih belum berhenti berprestasi, lagi-lagi ia suskes memenangkan gelar juara Premier League, dan secara individu ia juga pernah menjadi top skorer Premier League di musim 2010/2011. Kisah suksesnya berlanjut di Italia, bersama Juventus ia sukses mengantarkan klubnya meraih scudetto dengan gelontoran gol-golnya yang membuat ia menjadi top skorer klub di musim 2013/2014.
Apakah Tevez memang terlahir sebagai pemenang? pertanyaan inilah yang membuat saya penasaran darimana asal pemain yang juga akrab dengan hal-hal kontroversial. Setelah mempelajari kampung halaman Tevez, maka saya mulai menemukan banyak benang merah yang menghubungkan tipikal permainan pantang menyerahnya, aksi kontroversial, dan mental juaranya. Terlepas dari fakta ia juga berbagi tanggal lahir dengan pemain-pemain terbaik dunia lainnya seperti Crisitiano Ronaldo dan Neymar pada tanggal 5 Februari.
Lahir di kawasan kumuh tentu membuat Tevez kecil jauh dari kenyamanan yang dirasakan anak-anak kecil keluarga menengah atas. Fuerte Apache bahkan dinobatkan sebagai salah satu tempat paling berbahaya di dunia, polisi setempat sendiri sangat menghindari wilayah Fuerte Apache, pernah ada polisi sedang duduk ditembak oleh penduduk setempat melalui jendela. Pengedar obat-obatan terlarang berkeliaran di wilayah ini. Kerasnya lingkungan Fuerte Apache jelas bukan sebuah tempat yang nyaman, namun siapa sangka jika wilayah inilah yang turut membentuk karakter pemenang Tevez.
“Kondisi di sana sangat buruk, kami tidak punya banyak, tidak punya banyak materi,” ujar Tevez dalam sebuah wawancara tentang kampung halamannya tersebut. Maka sangat masuk akal jika Tevez kecil lebih banyak menghabiskan waktu mengolah bola daripada bermain video game atau les bahasa Inggris layaknya anak-anak anggota keluarga yang berkecukupan.
Kiprah Tevez di dunia sepakbola ini tentu memberi banyak inspirasi bagi generasi muda Argentina, khususnya bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sekedar informasi, terdapat kurang lebih 4 juta penduduk hidup di bawah garis kemisikinan di Buenos Aires.
Tevez tidak hanya menggapai prestasi di negaranya, tapi juga pencapaian kelas dunia juga sudah ia peroleh. Hal ini membuat ia dicap sebagai ‘pahlawan’ di negaranya, terutama mereka yang berasal dari Fuerte Apache. Hal ini jugalah yang membuat seorang seniman lukis Martin Ron bersama Lean Frizzera dan Emy Mariani untuk melukis sebuah lukisan raksasa, sebuah mural untuk Tevez bukan Messi, bukan Aguero. Masih banyak lagi tribut mural untuk Tevez selain lukisan yang bertebaran di Argentina.
Ketika nama Tevez tidak diikutsertakan dalam daftar pemain Argentina yang akan bermain di Piala Dunia 2014, sempat terjadi unjuk rasa dari para suporter kepada asosiasi sepakbola Argentina. Hal ini jelas menunjukkan besarnya kecintaan para fans bagi El Apache, dan semakin menasbihkan dirinya sebagai ‘pahlawan’ Argentina.
Gelimang materi, popularitas, dan segudang prestasi tidak membuat Tevez menjadi kacang yang lupa kulitnya. Ia seorang pria yang konsisten dengan ucapannya, saat menolak tawaran operasi plastik untuk menghilangkan bekas luka bakarnya dari Boca Juniors, ia menyatakan bahwa luka bakarnya adalah bagia dari dirinya di masa lalu dan dirinya saat ini. Selaras dengan ucapan tersebut, Tevez selalu ingin membalas budi dan memberi lebih bagi kampung halamannya tersebut.
“Saya ingin memberi anak-anak di sana sebuah dasar untuk membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Saya ingin melakukannya di tahun-tahun mendatang. Saya tumbuh di tempat di mana tidak banyak kesempatan kecuali anda menjadi pesepakbola. Hal ini akan membantumu tidur di malam hari jika kamu tahu kamu sedang melakukan sesuatu untuk menolong,” ujar Tevez seperti dilansir dailymail.
“Tidak sulit bagi saya untuk melakukan ini, Saya ingin membantu untuk turut menginspirasi mereka melakukan sesuatu bagi hidupnya. Dengan semangat dan pengorbanan mereka akan sampai di sana. Saya ingin menjadi contoh bagi mereka, menunjukkan pada mereka apa yang bisa dilakukan. Ini motivasi saya,” tambah Tevez.
“Jadi kami melakukan apa yang kami bisa lakukan untuk anak-anak ini sehingga mereka bisa punya kehidupan.” tutup Tevez.
Sempat dianggap pengkhianat oleh beberapa orang karena meninggalkan kampung halaman, kini orang-orang tersebut tentu menarik kembali ucapannya atas banyak hal yang diberikan oleh Tevez bagi kampung halamannya. Ia mendonasikan uangnya untuk pembangunan sekolah, rumah sakit, penyediaan obat dan makanan, dan pastinya fasilitas olahraga. Apa yang dilakukan Tevez, dan apa yang dicapai Tevez dalam hidupnya semoga bisa menginspirasikan generasi muda Fuerte Apache (dan juga mereka yang tinggal di kawasan sulit lainnya di seluruh dunia) selanjutnya untuk bisa berprestasi. Sebuah mural dengan lukisan raksasa Tevez akan selalu menjadi pengingat prestasi dan jasa-jasa sang ‘the people’s player’ bagi Fuerte Apache dan Argentina.
Feliz Cumpleanos El Jugador Pueblo!
